Begitu terdengar
keberangkatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah dari Makkah
menuju Madinah, maka kaum Anshâr keluar dari rumah-rumahnya untuk menunggu
kedatangan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka menunggu kedatangan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam setiap hari pada hari masih pagi. Jika panas
sudah terik, mereka pun kembali pulang ke rumah masing-masing. Demikian Imam
Bukhâri rahimahullah , Ibnu Ishâq , al Hâkim dan ulama lainnya meriwayatkan.
Dan seperti biasa,
hari Senin, 12 Rabi’ul Awal tahun ke-14 kenabian (tahun pertama hijriyah,
bertepatan 23 September 622 M)[1], kaum Anshar keluar menunggu kedatangan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ketika panas sudah terik, mereka pun kembali ke
rumah masing-masing. Saat itu, ada seorang Yahudi sedang naik di salah satu
bangunan yang tinggi di Madinah untuk suatu keperluannya. Seketika ia melihat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya, maka diapun berseru:
“Wahai orang-orang Arab,[2] inilah kakek kalian yang kalian tunggu”.
Sehingga sontak kaum
muslimin yang mendengar seruan orang Yahudi itu bangkit mengambil
senjata-senjata mereka, menyongsong kedatangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam di tempat mereka yang merupakan daerah bebatuan. Suara riuh dan takbir
menggema di Bani Amr bin ‘Auf. Kaum muslimin merasa sangat bahagia dan berduka
cita dengan kedatangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka
menyambut dan menghormatinya sebagai seorang nabi. Sebagian kaum muslimin yang
belum pernah berjumpa dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menghormati Abu Bakar sebagaimana menghormati Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , karena mengira dialah Nabi yang dimaksudkan.
Ketika panas kian
terik, Abu Bakar Radhiyallahu anhuberdiri dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berteduh pada selendang Abu Bakar Radhiyallahu anhu. Sehingga kaum
muslimin pun mengerti mana yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam [3].
Mereka pun berkumpul di sekitar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan mengerumuninya.
Nampak ketenangan menaungi mereka, dan saat itu turun wahyu kepada beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ
مَوْلَاهُ وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَالْمَلَائِكَةُ بَعْدَ
ذَٰلِكَ ظَهِيرٌ
Maka sesungguhnya
Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang
baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.
[at-Tahrîm/66 : 4]
Kaum wanita dan para
budak berseru menyambut kedatangan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
: "Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang … Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang … Allahu Akbar … Muhammad datang".
Abu Darda`
Radhiyallahu anhu, salah satu yang menyaksikan peristiwa ini mengisahkan: “Aku
tidak pernah melihat penduduk Madinah lebih bergembira dengan sesuatu
sebagaimana kegembiraan mereka dengan kedatangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam ”. [HR al-Bukhâri dalam al-Fath ,7/260].[4]
Kemudian beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan dan singgah di Quba’ di daerah Bani Amr
bin ‘Auf. Di daerah itu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal selama 14
hari dan mendirikan masjid pertama setelah hijrah, yaitu biasa disebut dengan
Masjid Quba`.
Ketika hendak
memasuki Madinah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim pesan
kepada para pembesar Bani Najar, dan mereka pun berdatangan dengan pedang
terhunus. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengendarai tunggangannya
lagi ditemani Abu Bakar Radhiyallahu anhu, berjalan ke arah Madinah. Ketika
sampai di daerah Bani Salim bin ‘Auf, mereka mendapati hari Jum’at. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat Jum’at di suatu lembah
bersama para sahabatnya yang berjumlah sekitar seratus orang[5] . Ini merupakan
shalat Jum’at pertama yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
di dalam kota.[6]
Setelah menunaikan
shalat Jum’at, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya
memasuki Madinah dalam suasana penuh gembira. Tidak ada satupun rumah yang
dilalui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali penghuninya memegang
tali kekang tunggangannya dan berharap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tinggal bersama mereka. Tetapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
“Biarkanlah (ia berjalan), karena sesungguhnya dia ada yang menyuruhnya!”
Unta tunggangan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus berjalan hingga sampai di Bani
Nujjar, tempat masjid Nabawi sekarang ini. Unta itupun berhenti, namun
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak turun dari atas punggungnya.
Unta itu bangkit, dan ia berjalan lagi. Tidak beberapa lama, unta tunggangan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menoleh dan kembali ke tempat
pemberhentian yang pertama, yaitu di daerah Bani Nujjâr, tepat di depan rumah
Abu Ayyûb al-Anshâri Radhiyallahu anhu. Akhirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam turun.
Melihat hal ini, Abu
Ayyûb Radhiyallahu anhu bergegas menghampiri barang bawaan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejurus kemudian memasukkannya ke dalam
rumahnya, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْمَرْءُ مَعَ رَحْلِهِ
Si pemilik barang
ikut bersama barangnya.[7]
Rumah Abu Ayyûb
Radhiyallahu anhu terdiri dari dua tingkat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tinggal di bagian bawah, sedangkan Abu Ayyûb Radhiyallahu anhu dan
istrinya di bagian atas.
Suatu malam Abu Ayyûb
Radhiyallahu anhu tersadar keberadaan dirinya, sehingga ia berkata: “Kita
berjalan di atas kepala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,” lalu mereka
minggir dan tidur di bagian tepinya. Kemudian ia meminta kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar pindah ke bagian atas, sedangkan Abu Ayyûb
Radhiyallahu anhu dan istrinya pindah ke bawah.
Mendengar permintaan
Abu Ayyûb Radhiyallahu anhu, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menimpali:
“Di bawah lebih mudah,” tetapi Abu Ayyûb Radhiyallahu anhu menjawab: "Saya
tidak akan menaiki suatu atap, sedangkan engkau berada di bawahnya," maka
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pindah naik ke bagian atas rumah
Abu Ayyûb, dan Abu Ayyûb pun turun menempati bagian bawah.
Abu Ayyûb
Radhiyallahu anhu membuatkan makanan untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam . Ketika wadah makanan dikembalikan, ia menanyakan bekas tempat tangan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu diikutinya tempat itu.
Suatu hari, Abu Ayyûb
Radhiyallahu anhu membuatkan makanan yang ada bawang putihnya untuk Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ketika dikembalikan, ia juga menanyakan bekas
tempat tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , namun dijawab: “Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak makan”.
Mendengar jawaban
ini, Abu Ayyûb kaget, lalu ia naik menuju Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan bertanya: “Apakah bawang itu haram?”
Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak, tetapi aku tidak menyukainya,” maka Abu
Ayyûb Radhiyallahu anhu menimpali: “Aku membenci apa yang engkau benci
…".[8]
Dalam riwayat lain
diceritakan, ketika Abu Ayyûb Radhiyallahu anhu masih tinggal di atas
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , suatu hari, wadah air milik Abu
Ayyûb Radhiyallahu anhu pecah, maka ia segera mengeringkan dengan selimut
miliknya yang hanya satu-satunya dan biasa dipakai untuk berselimut. Abu Ayyûb
Radhiyallahu anhu khawatir, jika air akan menetesi Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam sehingga bisa mengganggunya.[9]
Ada yang
meriwayatkan, Abu Ayyûb meminta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pindah ke atas lantaran peristiwa ini, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memenuhi permintaannya. Sedangkan yang tertera dalam riwayat Imam Muslim
dan Ahmad, bahwasanya yang menjadi penyebabnya ialah Abu Ayyûb merasa tidak
enak berada di atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Riwayat inilah
yang lebih benar.
Demikian, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal sementara bersama Abu Ayyûb. Sedangkan
Abu Bakar Radhiyallahu anhu, ia tinggal bersama Habib. Ada yang mengatakan
Khubaib bin Yasaf. Ada pula yang mengatakan Abu Bakar Radhiyallahu anhu tinggal
bersama Kharijah bin Zaid.
Pelajaran dari Kisah
Hijrah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
1. Dalam khutbah
ketika Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah), Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjelaskan, setelah penaklukkan Makkah tidak ada lagi kewajiban hijrah
(dari Makkah menuju Madinah). Akan tetapi kewajiban berjihad dan berniat tetap
ada.[11] Hijrah dari negeri kafir ke negeri muslim tetap wajib sampai hari
kiamat.
2. Peran Abu Bakar
Radhiyallahu anhudalam hijrah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dianggap
sebagai keutamaan yang sangat tinggi. Cukup menunjukkan kemuliaannya. Allah
Azza wa Jalla menyebutnya dalam Al-Qur`an:
إِلَّا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ
نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ
الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ
هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ
يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ
اللَّهَ مَعَنَا
Jikalau kalian tidak
menolongnya (Muhammad), maka sesungguhnya Allah telah menolongnya; (yaitu)
ketika orang-orang kafir (musyrikin Makkah) mengeluarkannya (dari Makkah)
sedang dia salah seseorang dari dua orang, ketika keduanya berada dalam gua, di
waktu dia berkata kepada temannya: "Janganlah berduka cita, sesungguhya
Allah bersama kita". [at-Taubah/9 ayat 40].
3. Memperhatikan
kisah tabarruk (mencari barakah) Abu Ayyûb dan istrinya dengan menggunakan
bekas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka jelaslah bahwa disyari’atkan
mencari barakah dengan menggunakan bekas-bekas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , jika ada.
4. Perlakuan Abu
Ayyûb dan keluarganya atas diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menunjukkan besarnya kecintaan para sahabat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam . Kejadian seperti ini terulang terus dalam banyak peristiwa. (Ustadz
Ahmad Nusadi).
sumber : http://almanhaj.or.id/content/3744/slash/0/kedatangan-rasulullah-shallallahu-alaihi-wa-sallam-di-madinah/