Shalat tahajud merupakan kebiasaan yang baik dan kebiasaan orang-orang
sholeh zaman dahulu. Bahkan orang yang gemar tahajud akan diangkat
derajatnya ke tempat yang tinggi dan mulia di sisi Allah SWT.
"Dan pada sebagian malam hari bersalat tahajudlah kamu sebagai suatu
ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ketempat yang
terpuji" (Q.S. 17:79 ).
Lalu bagaimanakah hukum tahajjud dilakukan secara berjamaah?
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya bahwa Rasulullah
saw. pernah menganjurkan salat Tahajud kepada Fatimah dan Ali bin Abi
Thalib. Bahkan secara sengaja beliau datang ke rumahnya. Tetapi hal itu
tidak disertai ajakan berjamaah bersama beliau. Jika berjamaah tahajjud
itu lebih baik dari pada munfarid sebagaimana salat-salat sunat lain
yang dilakukan secara berjamaah, tentu beliau akan mengajak salat
berjamaah kepada Ali bin Abu Thalib dan Fatimah putri beliau yang
rumahnya berdempetan dan sama-sama nempel ke masjid.
“Sesunggunya Ali bin Abu Talib menceritakan kepadanya (Husain bin Ali)
bahwa pada suatu malam Rasulullah saw. membangunkannya (Ali bin Abi
Thalib) beserta Fatimah putri Nabi saw., (dengan cara mengetuk) lalu
beliau bertanya, ‘Tidakkah kalian akan melaksanakan salat Tahajud’?
kemudian saya menjawab, ’Wahai Rasulullah, diri-diri kami ini berada
pada kekuasaan Allah, jika Ia berkehendak membangunkan kami, tentu kami
akan bangun’, Maka tatkala kami berkata demikian, beliau beranjak pergi
dan tidak kembali lagi kepadaku, kemudian aku mendengar beliau, sambil
berpaling pergi seraya memukul paha beliau, bersabda, ’Manusia itu
adalah yang paling banyak dalihnya’.” H.r. Al-Bukhari.
Suatu ketika Aisyah mencari Rasulullah saw., lalu ia mendapati beliau
sedang sujud pada salat malam. Dan terbukti bahwa Aisyah tidak turut
salat dibelakang beliau (berjamaah), dan tidak diceritakan Rasulullah
saw. pernah mengajak seorang pun di antara istri-istri beliau untuk
berjamaah tahajud. Sebagaimana diterangkan di dalam hadits berikut ini:
“Dari Aisyah r.a. ia berkata, ‘Aku kehilangan Rasulullah saw. pada suatu
malam dari tempat tidur, lalu aku mencarinya (dengan cara meraba-raba),
tiba-tiba tanganku menyentuh kedua kaki beliau di mesjid, sementara
kedua telapak kaki beliau berdiri tegak (ketika sujud), beliau sedang
berdo’a ‘Ya Allah aku berlindung kepada keridaan-Mu dari murka-MU,
kepada ampunan-Mu dari siksa-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari
siksa-Mu, aku tidak dapat menghitung pujian atas-Mu, Sesungguhnya Engkau
sebagaimana pujuan-Mu atas diri-Mu’.” H.r. Muslim.
Dengan keterangan-keterangan ini nyatalah bahwa Rasulullah saw. tidak
pernah sengaja bertahajud berjamaah apalagi sampai mengajak orang-orang.
Jika kita perluas sedikit tentang betapa akan mudahnya Rasulullah saw.
untuk mengadakan salat tahajud dengan berjamaah, bahkan dengan jumlah
jamaah yang amat banyak. Karena kita sangat memaklumi bahwa para sahabat
adalah orang-orang yang senantiasa dalam keadaan haus terhadap
keutamaan-keutamaan dalam beribadah, terutama ibadah-ibadah mahdhah. Hal
ini menunjukkan bahwa demikianlah ketentuan salat tahajud. Sangat
berbeda ketika Rasululah saw. mengajak para sahabat bahkan keluarga dan
istri-istrinya melaksanakan Qiyamu Ramadhan (Tarawih) secara berjamaah
bahkan di masjid.
“Dari Abu Dzar, ia berkata, ‘Kami saum bersama Rasulullah saw., beliau
tidak mengimami kami sebelum tersisa tujuh hari dari bulan itu, lalu
beliau salat bersama kami sampai lewat sepertiga malam, kemudian beliau
tidak salat mengimami kami pada hari keenamnya (dari bulan itu) dan
salat mengimami kami pada hari kelimanya hingga pertengahan malam, lalu
kami bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana kalau engkau mengimami kami
pada sisa malam ini ?’ beliau menjawab, ‘Siapa yang salat bersama imam
sampai selesai, telah ditetapkan baginya salat malamnya, ‘kemudian
beliau tidak mengimami kami hingga tersisa tiga hari dari bulan itu dan
salat mengimami kami pada hari ketiganya dan mengajak keluarga serta
istri-istri beliau, lalu beliau salat bersama kami hingga kami
dikhawatirkan alfalah, aku (Jubair bin Nufair) bertanya kepadanya (Abu
Dzar), ‘Apa alfalah itu ?’ Ia (Abu Dzar) menjawab, ‘Sahur’”. H.r.
Al-Khamsah. Nailul Authar, III:55.
Lalu, bagaimana kita harus mendudukkan hadis-hadis berjamaahnya
Rasulullah saw. pada salat malam beliau? Hadis-hadis yang dimaksud
adalah hadits-hadits sebagai berikut :
Pertama, hadits Ibnu Abas,
Dari Ibnu Abas, ia mengatakan.”Saya bermalam di rumah bibiku, yaitu
maimunah, maka Rasulullah saw. berdiri melakukan salat malam dan aku
berdiri di sebelah kiri beliau. Maka beliau melakukan demikian, yaitu
memegang kepalaku dan memberdirikan aku di sebelah kanan beliau. H.r.
An-Nasai : 797
Hadis Ibnu Abas ini menerangkan bahwa ia mengikuti salat malam bersama
Nabi saw. tanpa ajakan Nabi saw. Bahkan dikatakan oleh Ibnu Abas sendiri
bahwa Nabi lebih dahulu berdiri melakukan salat malam itu. Demikian
pula pada hadits Ibnu Masud dan Hidzaifah.
Kedua, hadits Ibnu Masud,
Dari Abdulah (bin Masud) r.a, ia mengatakan,”Saya salat bersama Nabi
saw. pada suatu malam lalu tidak hentinya beliau berdiri sampai saya
punya pikiran jelek’ Kami bertanya,’Apa pikiran jelekmu itu?’ ia
menjawab,’Saya duduk meninggalkan Nabi saw. berdiri sendirian.’” H.r.
Al-Bukhari : 1135.
Ketiga, Hadits Hudzaifah
Dari Hudzaifah, ia mengatakan,”Saya salat bersama Nabi saw. pada suatu
malam, maka beliau memulai dengan surat albaqarah, lalu aku
katakan,’Beliau ruku pada ayat keseratus, dan salat lagi lalu ruku pada
ayat kedua ratus, aku katakan, beliau salat dengan itu pada satu rakaat,
lalu teruslah beliau salat dan mulailah membaca surat An-Nisa dan
beliau membacanya lalu memulai membaca surat Ali Imran, beliau
membacanya dengan tidak tergesa-gesa. Maka apabila membaca ayat yang
terdapat tasbih, beliau berhenti dan bertasbih, apabila membaca ayat
yang ada permohonan, beliau memohon, bila melewati ayat yang ada
ta’awwudz, beliau berta’awwudz, lalu ruku dan membaca subhana rabbiyal
‘adhim, lamanya ruku beliau tidak jauh dari berdirinya. Lalu beliau
bangkit dan mengucapkan sami’allohu liman hamidah, maka berdirinya itu
tidak jauh dari rukunya, Lalu beliau sujud dan membaca subhana robbiyal
‘a’la. Dan lamanya sujud beliau tidak jauh beda dari rukunya.” Hr. An
Nasai : 1646.
Keempat, hadits kisah Salman dan Abu Darda,
Dari Abu Juhaifah, ia berkata, “Nabi saw. memuakhatkan (mengikhwankan)
antara Salman dan Abu Darda. Salman berkunjung kepada Abud Darda, maka
ia melihat Ummu Darda dalam keadaan berpakaian lusuh. Lalu ia berkata
kepadanya, ‘Mengapa keadaanmu demikian’ Ia menjawab, ‘Saudaramu Abu
Darda sudah tidak ada perhatian terhadap kehidupan dunia’ Kemudian Abu
Darda tiba, lalu ia (Salman) menghidangkan makanan untuknya, kemudian
berkata, ‘Makanlah’ Abu Darda berkata, ‘Saya sedang shaum’ Salman
berkata lagi, ‘Saya tidak akan makan sebelum kamu makan’ Lalu ia pun
makan. Ketika malam tiba Abu Darda bangun hendak salat, maka Salman
berkata, ‘Tidurlah’ maka ia pun tidur. Lalu ia bangun lagi, maka Salman
pun berkata lagi, ‘Tidurlah’ Ketika di penghujung malam, Salman berkata,
‘Sekarang bangunlah’ Lalu keduanya salat. Maka Salman berkata kepada
Abu Darda, ‘Sesungguhnya Tuhanmu punya hak yang menjadi kewajibanmu,
dirimu dan keluargamu juga punya hak yang menjadi kewajibanmu, maka
penuhilah yang punya hak sesuai dengan haknya Maka Abu Darda mendatangi
Nabi, lalu menerangkan hal itu (ucapan Salman) kepada beliau. Maka Nabi
bersabda, ‘Salman benar’ H.r. Al Bukhari, at Tirmidzi, Ibnu Hiban, al
Baihaqi, dan ad Daraquthni.
Hadits di atas menunjukkan bahwa Abu Darda baru mendengar/mendapatkan
keterangan yang disampaikan oleh Salman, sehingga ia sengaja mendatangi
Nabi untuk mengetahui kebenaran keterangan itu.
Dengan sabda Nabi: shadaqa Salman, maka keterangan dari Salman itu
dikategorikan sebagai hadits taqrir (kebenarannya disetujui oleh Nabi)
dan tidak ada hubungannya dengan amaliyah (perbuatan) mereka (salat
malam). kalimat
qumil an (salatlah kamu sekarang) dan sholaya
(keduanya salat) belum cukup untuk diartikan salat malam mereka
berjamaah, Karena jelas sekali bahwa Salman menyuruh Abu Darda salat
bukan mengajaknya salat berjamaah.
Dari sini kita dapat memahami maksud al Bukhari, mengapa hadits itu
tidak ditempatkan pada Kitabut Tahajjud, tapi pada kitabus shaum (Shahih
al-Bukhari, 1997:389, No. 1.968) dan Kitabul Adab (Shahih al-Bukhari,
1997:1.301, No. 6.139). Demikian pula halnya dengan para imam lainnya
(at Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, IV:608, Kitabuz Zuhud; Ibnu Hiban,
Shahih Ibnu Hiban, II:23, Kitabul Birri wal Ihsan; al Baihaqi,
as-Sunanul Kubra, IV:275, Kitabus Shaum; ad Daraquthni, Sunan
ad-Darquthni, II:176, Kitabus Shiyam)
Jadi, tidak ada seorang pun dari para mukharij itu yang menyebut salat
tahajud berjamaah. bahkan tidak kita dapatkan sama sekali tentang bab
keutamaan tahajjud berjamaah itu. Oleh karena itu dapat dijawab
keraguan-keraguan di atas tentang apakah benar tahajud itu lebih baik
berjamaah?
Mari kita perhatikan hadits berikut :
Dari Zaid bin Sabit ra, ia mengatakan,”Rasulullah saw. memikul kain
tebal atau tikar, lalu beliau keluar dan salat di atasnya. Maka
mengikutinyalah beberapa orang dan datang untuk bermakmum kepada beliau.
Lalu pada malam berikutnya mereka datang lagi dan Rasulullah saw.
menahan diri dan tidak keluar menemui mereka, lalu meraka bersuara
dengan sangat keras dan berkumpul di dekat pintu. Maka Rasulullah saw.
keluar dengan marah seraya bersabda,”Apa yang terus-menerus kalian
lakukan ini ? Sampai aku menyangka akan diwajibkan atas kalian. Salatlah
di rumah-rumah kalian karena sesungguhnya sebaik-baik salat seseorang
itu dirumahnya selain salat wajib. H.r. Al-Bukhari : 5648, Muslim, I :
347-348 : 1301
Pada hadits ini jelas sekali Rasulullah saw. menyuruh orang-orang yang
mengharapkan salat berjamaah tahajud dengan beliau agar pulang ke rumah
dan mengerjakan salat malam/tahajud di rumah masing-masing.
Setelah kami melihat hadits-hadits tentang praktek salat malam/tahajud
Rasulullah saw. dan kami menelaah karakter salat malam Rasulullah saw.
yang senantiasa munfarid dalam arti tidak pernah mengajak seorang pun
sahabat untuk berjamaah, hatta istri-istri beliau yang tentunya sekamar
dengan beliau.
Selanjutnya memperhatikan penetapan para imam mukharij hadits-hadits
yang tidak membuat bab khusus tentang salat malam/tahajud berjamaah
terhadap hadits Ibnu abas, Ibnu Masud, Hudzaifah al Yamani, serta Salman
alFarisi dengan Abu Darda.
Menelaah para sahabat yang ingin berjamaah dengan beliau disuruh pulang
dan salat malam/tahajud di rumah masing-masing. Mengingat telah adanya
sekelompok muslim yang memasyarakatkan acara tahajud berjamaah.
Maka kami berkesimpulan bahwa:
1. Salat malam/tahajud itu asalnya dilakukan secara munfarid
2. Tidak boleh mengajak orang lain untuk salat berjamaah termasuk kepada istri.
3. Tidak mengapa mengikuti orang yang sedang salat malam/tahajud dengan tujuan mempelajarinya termasuk ayat-ayat yang dibaca.
4. Salat malam/tahajud yang diacarakan dengan berjamaah tidak
dicontohkan oleh Rasulullah saw. Jika acara berjamaah salat
malam/tahajud itu lebih baik, tentu Rasulullah saw. dan para sahabat
akan lebih dahulu mengacarakannya dan mendawamkannya dari pada kita.
Selanjutnya terlihat dengan jelas perbedaannya dengan qiyamu Ramadan
(tarawih) yang dilakukan dengan berjamaah dan sengaja Rasululah saw.
mengajak orang-orang dan mengajak istri-istri dan keluarga beliau.
Wallohu’alam bisowab. Sumber: persis.or.id
Tags yang terkait hukum tahajud: hukum sholat tahajud berjamaah, hukum
tahajud berjamaah, hukum tahajud sebelum tidur, kaya dan bahagia dengan
tahajud, sholat tahajud yang benar, keajaiban sholat tahajud, bacaan
sholat tahajud, doa sholat tahajud, tata cara sholat tahajud, sholat
witir, niat sholat tahajud.
sumber : http://www.shalat-tahajud.info/2013/02/bagaimanakah-hukum-tahajud-berjamaah.html