Anak-anak tinggal di tempat yang panas dan kondisi sesak.
Komisi Tinggi PBB untuk pengungsi (UNHCR) mengeluarkan
sebuah laporan pada Selasa, 26 November 2013 malam mengenai kondisi kamp bagi para
pencari suaka di Pulau Manus dan Nauru di Papua Nugini. Hasilnya, ratusan
pencari suaka berada dalam status limbo dengan kondisi serius akibat kesehatan
jiwa mereka.
Harian Australia, Sydney Morning Herald (SMH), Rabu 27
November 2013 melansir informasi bahwa kamp pencari suaka di dua pulau itu
lebih berfokus untuk mendorong imigran ilegal agar mereka kembali lagi ke
negara asalnya, ketimbang menjadikan kamp itu sebagai tempat yang aman, nyaman
dan sesuai dengan standar kemanusiaan. Perwakilan UNHCR berkunjung ke kedua
kamp tersebut pada bulan Oktober lalu dan bertemu 95 anak yang ditahan di sana.
Inspektur UNHCR menyebut anak-anak itu tinggal di tempat
yang panas, lembab, dan kondisi yang sesak dengan sedikit privasi. Mereka juga
tidak bersekolah.
Melihat fakta tersebut, orang tua mereka khawatir dengan
kondisi kesehatan mental mereka. Saat tim UNHCR berkunjung, terdapat 801
pencari suaka di Pulau Nauru dan 1091 di Kepulauan Manus, termasuk dua anak
yang tidak didampingi oleh orang tua mereka.
Dari sekian banyak pencari suaka di Pulau Nauru, hanya ada
satu di antara mereka yang memiliki akses perlindungan setelah memprosesnya
selama 14 bulan. Sementara tidak ada satu pun pencari suaka di Kepulauan Manus
yang telah diproses sejak 12 bulan lalu berada di PNG.
Padahal di waktu itu pula Australia dan PNG telah meneken
kesepakatan untuk mengirim para pencari suaka ke PNG. Melihat fakta di lapangan
tersebut, UNHCR jadi meragukan kemampuan Pemerintah PNG dan pejabat kepulauan
Nauru dalam menangani proses pencari suaka.
Pasalnya dari 1.093 pencari suaka di Kepualuan Manus per 28
Oktober lalu, baru 160 orang yang telah mengajukan klaim suaka mereka untuk
diproses. Selain itu, kedua Pemerintah di daerah itu tidak menyediakan dukungan
hukum apa pun untuk membantu mereka.
Di mata Direktur UNHCR, Volker Turk, laporan yang
dikeluarkan institusi yang dipimpinnya melihat penurunan tajam selama satu
tahun terakhir secara keseluruhan dalam perlindungan dan dukungan yang
disediakan bagi para pencari suaka dan pengungsi yang ingin ke Australia
menggunakan perahu.
"Memang betul, mereka menegaskan ketika kebijakan dan
praktik didasarkan pada pencegahan, maka fasilitas itu dapat berbahaya bagi
keluarga dan anak-anak," ujar Turk.
UNCHR kemudian merekomendasikan bagi pencari suaka yang
tengah hamil, agar segera dipindahkan ke Pulau Nauru hingga peralatan medis
yang cukup tersedia. Pasalnya, sejak terjadi kerusuhan tanggal 19 Juli lalu
telah terjadi penurunan yang signifikan dalam hal kondisi perawatan bagi
mereka.
Terlalu Berlebihan
Sementara Menteri Imigrasi, Scott Morrison, tidak terlalu
menanggapi secara serius laporan yang dikeluarkan UNHCR tersebut. Menurut
Morrison, laporan berisi kritikan itu terlalu berlebihan.
Namun, dia mengakui memang ada permasalahan serius terkait
isu pendanaan di kedua kamp tersebut. Tak ingin terus dipojokkan, Morrison
lantas menyalahkan kesalahan itu kepada rezim Pemerintahan sebelumnya yang
dipimpin Partai Buruh.
Morrison mengatakan Pemerintahan Buruh tidak kompeten dalam
menerapkan kembali sebuah kebijakan minim dana dan kapasitas.
Kebijakan pengiriman para pencari suaka ke PNG dilakukan
ketika mantan Perdana Menteri Kevin Rudd masih menjabat. Semua imigran ilegal
yang tertangkap kapal patroli Australia, akan dipindahkan ke PNG untuk diproses
lebih lanjut, apakah benar pengungsi atau bukan.
sumber : http://dunia.news.viva.co.id/news/read/462044-pbb--kondisi-kamp-pencari-suaka-di-papua-nugini-tak-layak